Aku mau menjadi burung
Aku mau menjadi burung
Hans sudah berwisata dan hari bercuaca sangat bagus. Tetapi Hans
tidak mau main di luar. Tidak di dalam hutan, tidak di atas pantai berpasir dan
juga tidak di kebun. Dia hanya tinggal duduk dan menggerutu di kamar kecilnya
kepada suatu hal: “Aku mau menjadi seekor burung.”
“Siapa mendengar aku menggerutu seperti itu? Terdengar suara yang
merdu tiba-tiba.
Dan tiba-tiba Hans melihat seorang peri sihir kecil duduk di atas bangku jendela.”Kau adalah seorang peri sihir asli? Tanya Hans.”Aku pikir itu tidak ada lagi.”
“Tidak, itu sangat ....... Mereka sebenarnya tidak ada lagi kecuali
aku kemudian ..... Aku satu-satunya, yang masih ada,” ucap peri sihir.”Apa yang
kau inginkan sebenarnya? Kau bersungut begitu, Hans.”
“Aku sangat jengkel, peri sihir. Kau tahu: aku ingin sekali menjadi
seekor burung.”
“Itu bisa,” tertawa peri. “Sehari penuh kau boleh menjadi seekor
burung dari saya.”
“Benarkah?” seru Hans gembira dan dia menari karena senang. “Apakah
bisa?”
“Jika kau menutup matamu dan berkata aga-ga-gi.” Dan tiba-tiba dia
sudah terbang keluar sebagai seekor burung yang berkilauan, besar dan hitam.
“Menyenangkan! Menyenangkan!” dia bersorak-sorai dan terbang ke
pohon paling tinggi di sekitarnya. Pada puncak dahan dia tidak bertengger. Kini
dia bisa melihat semua dengan baik: rumah, dimana dia tinggal dan rumah nenek,
toko roti dan tukang potong. Sekonyong-konyong disana dia melihat menara dengan
ayam jago di atasnya. Dengan cepat Hans mengepakkan sayapnya ke sana. Baginya
terlihat menyenangkan baginya dapat memantau ayam jago dari dekat. Pada waktu
dia melihat ayam jago, dia melihat penggilingan. Baling-balingnya berputar secara
melingkar.
“Itu menyenangkan,” pikir Hans. “Aku akan duduk di atas sayap
penggilingan.”
Dia terbang ke penggilingan. Tetapi ketika Hans tepat duduk di atas
baling-baling, mereka tetap berdiri diam. Petani punya sebuah peluru di
tangannya.
“Lihatlah ke atas baling-baling!” seru istri petani. “Alangkah
gemuknya burung yang enak itu.”
Petani menembak Hans. “Pergi!” terdengar suara, tetapi tidak kena.
“Jangan lakukan! Jangan lakukan!” teriak Hans. “Aku seorang anak
biasa.”
“Itu menyenangkan,” kata petani itu. “Burung itu bisa berbicara. Aku
akan menangkapnya dan memasukkannya ke dalam sangkar.”
Mereka bersama mengambil sebuah tangga.
“Masuk ke dalam sangkar,” pikir Hans. “Aku tidak mau.”
Dengan segera dia menutup matanya dan berbicara sangat lembut:
“Aga-ga-gi.” Pada waktu petani dan istrinya datang ke anak tangga, mereka
melihat kaget. Sebagai ganti seekor burung, di sana sudah duduk seorang anak
laki-laki di atas baling-baling penggilingan.
“Apakah kau seorang anak tukang sihir?” tanya petani.
“Tidak,” kata Hans. “Aku mau pulang.”
Petani membantunya turun dari baling penggilingan. Dan tanpa
mengucapkan terima kasih, Hans berlari meninggalkan halaman, untuk pulang. Di
sana dia segera menangis, pada saat duduk di dalam kamarnya.
“Kenapa kau menangis?” tanya peri sihir kecil. “Dan mengapa kau
sudah kembali sekarang?”
“Aku sangat ketakutan. Ada petani yang telah menembakku.”
“Tidak tahukah kau bahwa orang-orang sangat suka menembak burung?”
“Tidak...” Hans tersedu. “Aku tidak pernah mau lagi menjadi seekor
burung.”
Dan dia bersungguh-sungguh kali ini.
Comments